Jumat, 25 November 2011

Puisi

Persimpangan

Di ujung jalan itu, sebuah persimpangan
antara kenyataan dan angan angan,
Aku turun menuju pulang
Hujan telah merendam sepatuku, rembes, membasahi jari-jari
Membawa anyir duka dari pelepah waktu
Inikah yang kau sebut imajinasi terbelah dua?

Sedang maut siap menjemput seperti angin bersiut
Menggoyang pohon yang setia pada akar,
Aku ranum senja terperangkap di belukar

Aku ingin pulang, pada sejarah yang lebih manis
; Air susu Ibu

Mei 2011

Weni Suryandari: Cerpen

Weni Suryandari: Cerpen: Kematian Raja Oleh: Weni Suryandari Perempuan itu mendengus perlahan sambil meraba-raba keningnya. Ken...

Cerpen

Kematian Raja
Oleh: Weni Suryandari
Perempuan itu mendengus perlahan sambil meraba-raba keningnya. Kening yang semalaman dirasakannya mengucurkan darah kini tak terasa basah, hanya ada bekas luka keringnya, tetapi seluruh persendiannya seakan lepas dan membutuhkan sandaran.
Pagi bertabur keheningan saat sepasang matanya menembus tirai kabut. Kokok ayam bersahutan di belakang sebuah bilik panggung beratapkan daun rumbia. Perempuan itu mengendus-endus bau busuk yang menguar di sekitarnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, menguceknya, lalu bangkit membetulkan kainnya yang longgar. Dilihatnya sisa masakan ikan patin  semalam sudah digerogoti tikus di pojok dapur.
Sisa pembakaran tungku semalam belum reda. Bau asap menguar makin pengap di bilik sempit  yang hanya dilapisi  bambu itu. Asap menerobos keluar dari celah-celah lubang kecil di sudut kanan dinding. Mungkin hanya selebar  daun jati tetapi cukup untuk membuat pekat asap berkejaran saling mendahului untuk keluar dari bilik pengap itu.
“Faridaaa….Faridaa….” sebuah suara berat menggedor-gedor kepalanya. Pusing segera menjalar secepat kilat. Tubuhnya gemetaran. Ia nyaris lemas.
“Farida…! Cepat! Kopiku mana??” seru suara itu. Ah, beruntunglah suara itu hanya meminta segelas kopi. Padahal ia telah menyiapkan bara api semalaman jika lelaki itu berani menghampirinya lagi. Belum usai tubuhnya pulih dari rasa sakit sisa pukulan kemarin.
Perempuan itu segera menyalakan tungku lagi. Ia menjerang sedikit air untuk membuatkan kopi bagi Raja, suaminya.
Mengapa perempuan harus berada dalam posisi yang tak bisa mengelak? Apa salahku hingga aku harus menderita seperti ini, Mak? Bukankah dulu Mak yang memaksaku menikah dengan Raja anak Penghulu Desa itu? Bukankah kata guru ngaji,  jika kupatuhi perintah Mak, maka seorang anak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya? Namun apa buktinya sekarang? Aku tidak bisa bergerak lagi. Aku terkurung dalam gigil sunyi tanpa batas  di belakang rumah suamiku, Raja. Buliran air mata menetes di pipinya. Air mata yang menembus ulu hatinya, yang telah lama mengendap di bilik jantungnya. Airmata yang belum lagi memerah darah, mungkin sedang menunggu saat paling genting. Atau menunggu ajalnya tiba? Farida menghela nafas panjang.
Perlahan ia melangkah mendekati meja  makan. Raja tak terlihat. Mungkin ia sedang memainkan burungnya di halaman depan. Halaman yang dikelilingi pepohonan rambutan dan mangga, di tutupi pagar tembok dan pintu gerbang besi yang  berukuran lebih tinggi dari ukuran manusia. Rapat, sebab tak pernah sekalipun seseorang bertandang atau berlalu lalang di tempat ini. Bahkan Farida tak dapat keluar dari sini.
“Da! Sudah?” Farida  kaget dan reflek menggerakkan bahunya.
“Sudah, Bang…”
“Da! Ke sinilah kau! Mengapa kau begitu takut padaku? “
Ia menyeruput kopinya sambil mengangkat kakinya sebelah. Farida mendekat.
“Berapa tahun sudah kita menikah?” Farida menunduk.
“Berapa tahun, Da?” Farida membisu.
Kepalanya berputar-putar. Ia tak ingat hari. Tak pernah melihat-lihat kalender, tak pernah menghitung berapa kali sudah matahari dan bulan berganti tugas. Ia sama sekali tak ingat!
“Da, kita sudah menikah lebih dari tiga tahun.” Lelaki itu melanjutkan.
“Maksudku, kau belum memberiku seorang anakpun. Kira-kira apa yang ada dalam pikiranmu?”
Farida menggeleng. Sepasang airmata berdenting di lantai. Lagi!
“Nah, aku ingin punya anak, Da! Aku ingin menikahi Linda, anak Engkoh Cin pemilik Kedai Borjuis di kota. Kau tahu kan? Linda itu cantik, muda dan segar. Pasti ia bisa memberiku keturunan yang cantik dan tampan. Ha ha ha…” Ia lupa apa yang diperbuatnya semalam pada Farida. Seringainya membuat kumis baplangnya bergerak-gerak.
Ah, Farida tak pernah memperhatikan kumis Raja. Ia menikah tanpa memperhatikan sosok laki-laki itu dari dekat. Menurut petuah-petuah para tetua, perempuan pantang menengadah, menatap  lawan jenis, atau sekadar menggelengkan kepala untuk mengungkapkan isi hatinya, ketidaksetujuannya. Suara Mak yang lembut dan Bapak yang keras, membuatnya benar-benar tumbuh menjadi gadis manis dan penurut.
“Da! Jawablah! Kau setuju bukan? “ Farida membungkam. Linda atau siapapun perempuan yang akan dinikahi Raja, bukanlah masalah baginya. Ia tak kenal. Ia tak pernah keluar rumah, tak pernah ke kota. Toko Borjuis atau Toko Sederhana sekalipun, ia tak tahu dan tak perduli.
“Kau istri tak berguna Da! Tak bisa memberiku keturunan, kerjamu hanya dapur dan sumur.”
Farida mengerang keras, hanya dalam hati, hanya telinganya yang mendengar. Ia segera membalikkan badan, menuju ke rumah belakang lagi. Membisu tanpa desah nafas sekalipun.
Ia harus segera menyiapkan air panas untuk mandi suaminya, lalu memasak makanan kesukaan Raja, sambal goreng petai dan patin kuah asam. Dapur dan sumur, itulah dunianya. Kasur? Oh, nanti dulu. Ia hanya dipanggil ke dalam rumah utama jika Raja ingin mengajaknya bercumbu dalam kesakitan dan derai airmata tak berkesudahan. Sebuah percumbuan dengan paksaan, sebab tak berlandaskan cinta. Terus menerus hingga kentongan peronda malam berbunyi tiga kali. Waktu yang paling menguntungkan baginya hanyalah saat Raja pergi ke kota membawa pundi uangnya dan berjudi hingga dini hari, lalu pulang dengan bau mulut sisa minuman tuak yang ia bawa tidur.
Pernah ia hendak memanjat pohon dan melompati pagar pada tengah malam, demi melarikan diri dari penjara rumah tangganya yang kejam. Namun kainnya tersangkut di antara tajam besi pagar dan ranting pohon. Ia terjerembab. Menangis pun takkan ada yang mendengar. Ia kembali ke rumah utama dengan menahan tetes darah di pahanya.
“Da, aku akan membawa Linda pulang, nanti sore. Kau siapkan kamar dan masakan yang lezat, agar ia betah tinggal di sini, Da…” Farida tersentak. Ia tak menyangka akan secepat itu. Nanti sore?
Perempuan itu menelan ludah yang sedari tadi tercekat di kerongkongannya. Ia mengepalkan jemarinya.
“Bang, apa tak sebaiknya saya abang ceraikan? Bukankah Abang akan lebih bahagia nantinya?”
“Apa katamu? Tak mungkin aku menceraikanmu. Siapa nanti yang akan mengurusku Da?”
“Bukankah ada istri baru Abang? “ ia enggan menyebut nama perempuan yang akan menghuni rumah ini.
“Hei! Linda tak akan kusuruh mengurus rumah. Ia cantik, Da! Tak sepertimu, lusuh dan berbau udik.” Betapa ringannya lidah Raja berkilah seperti itu.
Farida menahan gemas. Jika demikian maksud Raja, pupuslah harapannya selama ini.
“Da. Kamu tetap istriku. Linda juga istriku. Kalian berdua tak akan terpisahkan dari sisiku. Setiap istri punya tugasnya masing-masing. Begitu ‘kan? Ibumu akan berbahagia di alam sana, melihatmu menjadi istri yang berbakti untukku. “ seperti biasanya Raja selalu menggunakan kalimat itu sebagai senjata untuk melumpuhkannya. Farida menekuk muka.
“Masak yang lezat ya, Da. Jangan sampai Linda kecewa karena masakanmu tidak enak.”
Seringan lidahnya mengucapkan kata-kata itu, ringan pula langkahnya keluar rumah. Kunci gembok  tak lupa ia bawa serta. Ia tak ingin istrinya keluar rumah pada saat dirinya tidak ada.
“Bang! Abaaang! Aku ikut Bang! Aku ingin bertemu dengan calon maduku.” Kepala Farida mulai dipenuhi  siasat. Ia berlari mengejar Raja di halaman. Kainnya berseliweran, hampir saja kakinya  terantuk batu kecil di anak tangga terakhir. Ia segera menguasai diri dan melangkah tertatih-tatih.
“Untuk apa? Kamu menunggu di rumah sajalah. Aku harus bertemu dengan Engkoh Cin dulu.”
Farida merenggut tangan Raja. Belum pernah ia lakukan hal ini seumur perkawinannya. Ia merajuk dengan terpaksa, mengusir muak yang bertahun-tahun bersarang di benaknya. Raja mengernyitkan sebelah alisnya. Mulutnya berkerut, mengerucut. Matanya tajam menatap Farida. Ditepiskannya tangan perempuan itu.
 “Bang…ajak aku serta! “ Farida berlutut di bawah kaki Raja. Ia memohon dengan wajah memelas. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan hanyalah berlutut.
“Masuk! Masuk!! “ Bentak lelaki itu sambil menendang tubuh Farida, mengenai pahanya. Farida terjerembab. Raja segera keluar, pagar besi pun tertutup rapat.
Ia tak percaya begitu sulitnya untuk  mengelak takdir.
Beberapa ekor ikan patin yang dibeli Raja kemarin pagi belum diapa-apakan. Ikan-ikan itu masih asyik berenang di sebuah bak besar. Ia tak tahu akan berbuat apa, mana yang harus dikerjakannya lebih dahulu. Menangkap ikan itu dan memukul kepalanya, atau mengupas bumbu dan menyiapkan tungku kayu.
Ia menahan rasa sakit di pahanya. Kini wajah perempuan yang disebut-sebut bernama Linda itu memenuhi kepalanya. Ia belum pernah melihatnya, tak pernah mengenalnya. Seperti apa Raja memperlakukannya nanti? Seperti dewi kahyangan ataukah seperti dirinya?
Pernah satu kejadian lagi pada siang hari, kunci gembok tergeletak di atas meja rias. Raja tertidur pulas, dengkurnya keras. Ia ambil  kunci itu diam-diam, namun terjatuh, menimbulkan suara keras. Raja terkejut dan menghardiknya.
“Farida! Apa yang mau kau lakukan? Ha?” serentak Raja bangkit dan sigap mengambil kunci yang tergeletak di lantai. Farida pucat, tercekam ketakutan.
“Da! Kau mau kabur ya? Ngaku!” serunya membelalak. Ia jambak rambut Farida. Farida meringis kesakitan. Ia membisu. Bibirnya gemetar.
“Awas kalau kau berani! Dasar perempuan tak tahu diuntung!” ia hempaskan tubuh ringkih Farida ke lantai. Ia tak menangis, sudah terbiasa. Farida segera berlari menuju dapur belakang. Sejak saat itu ia tak pernah berani lagi mencuri kunci gembok untuk yang ketiga kalinya.
Suara Raja dan suara tawa kecil perempuan dan celotehnya yang nyaring mempertegas kehadiran perempuan lain di rumah itu. Ia segera menuju ruang depan
 “Farida! Kenalkan, ini Linda. Lihat, cantik bukan?” Raja menyeringai penuh ejekan. Apa maksudnya? Tanpa mengejekpun Farida sudah terlalu luka. Perempuan itu mengulurkan tangannya. Farida tersenyum kering. Meja makan kosong. Sebentar lagi Raja pasti membentaknya.
 “Da, mana makanan kesukaanku? Kau belum buatkan?” Farida menggeleng.
Ia segera menuju dapur. Satu jerigen minyak tanah masih belum terbuka tutupnya. Satu jerigen lagi sudah sisa seperempatnya. Ia segera menyerok ikat patin itu dengan jaring. Ia pegang ikan yang paling besar. Ia pukul kepalanya dengan gagang pisau. Wajah Raja dan perempuan itu sedang tergolek di kamar membayang jelas. Kamar yang telah dirapihkannya dengan kelambu putih yang menjuntai dan seprai putih  sesuai perintah suaminya.
Farida membawa masakan patin ke dalam rumah utama. Tak terdengar suara, sunyi semata. Kunci gembok tergeletak di meja makan. Terbetik keinginan untuk lari. Tapi ia takut Raja akan memburunya. Ia buka pintu yang memang setengah terbuka. Kedua insan itu sedang nyenyak  dengan busana yang terbuka sebagian. Jerigen minyak tanah segera ia siramkan ke kelambu, ranjang kapuk dan tubuh keduanya. Ia habiskan seluruhnya tanpa sisa. Basah dan bau minyak tanah begitu menyengat.
 “Farida! Apa yang kau lakukan bedebah??” suara Raja menggelegar. Perempuan di sampingnya terkejut membuka mata.
Tangan Farida gemetar sambil menyulut sebatang korek api, ia lemparkan ke atas selimut, sebatang lagi ke pakaian keduanya, sebatang lagi pada seprai, ia biarkan kamar berkobar dengan bibir gemetar. Ia raih kunci gembok di meja makan, sambil berlari dan terus berlari tanpa menoleh lagi.
Lolongan sepasang manusia itu terdengar merdu di telinganya. Farida tersenyum  menembus bening udara dan cahaya yang menyambutnya. Petuah leluhurnya samar samar dan patah patah mendengung sayup di otaknya.
Jati Asih, Maret 2011





Senin, 14 Maret 2011

Puisi

Genderang Sungsang

Bukankah Engkau jua yang mainkan genderang
Di persinggahan hidup sepasang tiang
Kala sepasang mata jatuh pada pengkhiatan karang
luka, Kau tak temukan cemas terlunta

Diapit waktu yang kiat menjepit seperti mata sabit
Siap menikam dada dengan kalimat sakti
“laa ilaaha illallaah”
Ku bersimpuh di ujung kakiMu

Lalu bumi kehilangan pijak, jika aku tak gegas
Membungkus masa silam
yang tersisa sedalam kelam
di jejak  kini aku bersandar pada tiang tenggelam
sambil merajut angan dengan sepasang mata
kosong semata

7 Maret 2011

Kamis, 04 Februari 2010

Balada Sandal Pak Supri

Sudah tiga pekan ini Pak Supri rajin  sholat di masjid. Istrinya pun sampai dibuat bingung. Sebab tak biasanya sang suami begitu rajin menantikan  saat  azan Magrib berkumandang. Gema Azan yang bersahutan merajuknya untuk segera berwudhu dan melangkahkan kaki ke masjid. Setahu istrinya, biasanya Pak Supri paling malas ke masjid. Ia lebih suka menonton tivi. Pagi, siang, sore, matanya setia menatap layar kaca. Dari iklan sampai sinetron, ia menonton terus. Sepanjang waktu menonton itu hanya diselingi dengan kegiatan makan atau ke luar rumah sebentar, sekedar kongkow dengan bapak-bapak di gardu ujung gang. Lalu ia masuk lagi ke dalam rumah dan kembali bersetia duduk di kursi khusus dan menghadap televisi. Semula istri pak Supri sempat hendak mencarikan seorang psikolog untuk mengobati  kecanduan suaminya akan televisi. Namun hingga kini tak pernah kesampaian.
Sebelumnya, setiap hari kegiatan Pak Supri sangat terjadwal rapi. Rapi dalam pengertian: Shubuh terlewati, ia tetap mendengkur, meski kalimat  “Assholaaatu khoirumminannauum” memanggil manggilnya lewat masjid di seberang gang rumahnya. Ia baru bangun tidur pukul sembilan atau  sepuluh,  saat  tukang sayur berhenti di depan rumah tetangga sebelah dan ibu-ibu berkerumun di gerobaknya. Ia menyeruput kopi yang sudah dingin, karena dihidangkan oleh istrinya sebelum  berangkat mengajar jam setengah tujuh pagi. Seusai minum kopi dan menghisap rokoknya, ia segera mandi dan berangkat. Itu lah jadwal rutinnya.
Sore, pukul enam atau sekitar Magrib, ia sudah kembali ke rumah. Hal utama yang dilakukannya adalah menonton tivi, sebelum berganti baju. Azan bersahutan di mushalla-mushalla dan masjid-masjid sekitar perumahan sederhana itu. Namun Pak Supri bergeming di depan layar kaca menyaksikan sinetron komedi yang menurut istrinya tak lucu sama sekali. Bagi Pak Supri lucu. Ia bisa terpingkal-pingkal menyaksikan adegan demi adegan. Ia baru akan beranjak dari duduknya saat sepuluh menit lagi menjelang azan Isya. Lalu segera sholat Magrib dengan tanpa memakai kemeja, hanya kaos singlet yang dikenakan sebagai pakaian dalam kemeja kantornya. Kaos itu berkeringat dan baunya tajam ke mana-mana. Berkali kali sang istri menegurnya tentang kebiasaan jelek itu, namun Pak Supri enggan menurutinya. Ia hanya diam dan kembali duduk. Jika tak malas, sholat Isya dilakukannya menjelang tengah malam atau sebelum tidur.
Perubahan drastis luar biasa terjadi tiga pekan belakangan ini. Istrinya terheran-heran.  Suaminya menjadi jamaah tetap  setiap Magrib dan Isya di Masjid Al Ittihad di seberang gang rumahnya. Jika kedapatan tiba di rumah jelang  Magrib, segera Pak Supri berwudhu dan pergi ke masjid. Anak-anak semua pun dibuatnya heran dan tercengang. Tapi mereka tetap bangga. Bapak mereka yang kecanduan tivi kini rajin ke masjid. Hanya itu perubahan baik yang mencerahkan hati Bu Supri dan ketiga anak perempuan mereka.
“Pak, Ibu salut lho Bapak mau ke masjid setiap sholat Magrib dan Isya!” seru istrinya suatu malam bertanya.
“Oh, kan biasa Bu! Dulu Ibu sering marah sama Bapak kalau telat sholat!”
“Iyaaa, tapi ‘kan biasanya Bapak  sholat di rumah?”
“Memangnya kenapa?”
“Ya, sekarang Bapak jadi kayak ustadz. Tiap Magrib sampai Isya pakai baju koko!”
“Lho, kan kata Ibu kalau mau menghadap Tuhan harus pakai baju rapi, bukan cuma ke kantor saja!”
“Iya, tapi kan biasanya Bapak nggak begitu?”
“Ibu ini gimana? Dulu Ibu yang sering nasihatin Bapak soal-soal begini, sekarang kok malah bertanya-tanya!” Bapak bersungut-sungut sambil tetap menonton tivi. Padahal Bu Supri ingin bercanda.
Tangan Pak Supri menggenggam tasbih. Entah dibaca atau tidak, yang jelas, jika Pak Supri berzikir sambil menonton iklan dengan gambar ketiak dan paha perempuan, apakah ia bisa berkonsentrasi? Pikir istrinya. Diurungkannya niat untuk mengajaknya bercanda. Ia malah berbalik ke dapur hendak membalik gorengan tempe mendoan. Mungkin suaminya sedang risau, atau tersinggung. Azan Isya bertalu-talu, Pak Supri segera meletakkan tasbihnya dan bergegas pergi.
“Paaaak…..!”panggil istrinya.
Tak ada sahutan. Hanya suara pintu tertutup. Dan suara sandal diseret -- gaya jalan Pak Supri—terdengar di teras depan. Suara tivi masih anteng, saluran yang itu-itu juga. Kebiasaan Pak Supri yang satu ini belum hilang, meninggalkan teve dalam keadaan menyala tanpa ditonton. Bu Supri segera mematikan teve dan berjalan ke arah kamar. Ia membawa serta majalah yang belum dibacanya. Kebiasaan Bu Supri adalah membaca sambil berbaring di tempat tidur. Sementara ia sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk suaminya. Anak-anak  bahkan sudah makan lebih dulu tadi sore. Jam jam begini adalah waktu belajar bagi anak-anak keluarga Supriandi yang tinggal di lingkungan masyarakat urban pinggir kota, wilayah Pondok Gede.  Supri yang sarjana ekonomi hanya bekerja sebagai staf biasa di sebuah perusahaan sekuriti keuangan. Gajinya tak pernah cukup untuk menghidupi keluarganya. Itu sebabnya Bu Supri harus terus bekerja.  Pelan pelan mata Bu Supri meredup. Kantuk mulai menyerang. Huruf huruf kabur.
“Bu!!! Sudah disiapkan?” suara keras suaminya mengagetkannya. Majalah yang berada di dekapan pun terhempas.
“Sudah. Mau makan?”
“Ya, tentu dong!” Bu Supri segera bangkit, membetulkan ikatan rambutnya yang mulai acak-acakan.
Mereka makan tanpa suara. Bu Supri tetap heran mengapa Pak Supri tiba-tiba berubah. Tapi ia tak mau bertanya lagi. Bahkan sendok dan garpu tak dibiarkannya berdenting di piringnya. Pak Supri juga enggan berbunyi. Lalap petai dan sambal memang kesukaannya. Ia asyik sendiri. Baju koko sudah dilepasnya, tivi mati. Tanpa suara. Hanya decap suara Pak Supri yang terdengar. Begitulah jika Pak Supri makan, belum lagi suara keras dari kerongkongannya ketika menelan air minum.
Lama-lama Bu Supri tak tahan berdiam-diam seperti itu. Nasi terasa seperti sekam di lidah, kepala berputar-putar, bingung mau memulai percakapan. Ia mendehem kecil. Makanan tak dihabiskannya. Agaknya Bu Supri akan memulai strategi merajuk jika ia sedang takut untuk bertanya. Bertanya baginya sama dengan menunggu bentakan. Jika ia merajuk, diam atau bersedih, Pak Supri akan gelisah dan bertanya lebih dulu. Dengan penuh kelembutan.
“Bu, Ibu kenapa? Kok nggak dihabiskan?”
“Pak, Ibu belum juga mendapat jawaban, kenapa Bapak sekarang berubah?”
“Berubah apanya? “
“Rajin ke masjid setiap Magrib dan Isya. Ibu senang, tapi Bapak terlalu drastis perubahannya.”
“Ya kalau berubah menjadi lebih baik kan nggak apa-apa Bu?”
“Kenapa Bapak nggak terus terang?”
“Begini Bu, ibu ingat sandal kulit hadiah dari kakekmu waktu kita ke Jogya? “
“Iya, Ibu ingat, memang kenapa? Dimana sandal itu sekarang?”
“Tiga minggu yang lalu, saat sholat Jum’at, sandal Bapak hilang. Bapak sengaja rajin ke masjid, sebab Bapak ingin tahu siapa yang ‘ngambil?” Pak Supri menghisap rokoknya.
“Lalu, Bapak ‘nemu?”
“Ada seorang pemuda yang mengembalikannya pada Bapak. Katanya, dia terburu-buru memakai sandalku, karena Bapaknya sedang sakit parah. Akhirnya meninggal. Sejak itu ia gelisah, ingin mengembalikan sandal Bapak.”
“Kapan dikembalikan?”
“Baru seminggu yang lalu. Tapi Ibu tahu apa yang terjadi sesudah itu?”
“Apa?”
“Pak RW yang selalu hadir menjadi imam Shalat sedang membutuhkan karyawan untuk usahanya. Bapak diminta kerja di sana.”
“Oh, ya?” mata Bu Supri berbinar. Jantungnya berlompatan.
Sudah lama ia menginginkan perubahan nasib keluarganya. Ia sudah lelah bekerja, usia semakin berkurang, begitupun tenaga. Bekerja dan mengurus rumah tangga tanpa pembantu sungguh berat baginya. Untuk menggaji pembantu saja mereka belum mampu.
“Karyawan untuk bagian apa Pak?”
“Keuangan Bu! Keuangan!!! Kan Bapak sarjana ekonomi! Ha ha ha..!”
“Alhamdulillah, Pak. Alhamdulillah…!!! Kapan Bapak mulai bekerja di sana?”
 “Awal bulan ini. Makanya Pak RW memberi syarat, agar setiap Magrib dan Isya Bapak membantunya di masjid.  Supaya masjid ramai oleh jama’ah.”
“Lalu sandal Bapak sekarang di mana? Kok Ibu nggak pernah lihat lagi?”
“Bapak berikan saja pada yang mengambilnya. Ia tak punya sandal buat berjualan tape keliling. Tapi bapak minta dia untuk meramaikan masjid setiap Magrib dan Isya. ”



Jati Asih, Februari 2010

Jumat, 01 Januari 2010

Bau

Sejak matahari terbit, lelaki legam itu kerap membungkukkan badan. Tangannya memegang sekop dan sapu lidi. Ia menguras tempat sampah. Kotak  tembok  permanen, dibangun dari batu bata dan semen. Selembar seng tebal di atasnya digunakan sebagai penutup, agar bau tak menyebar. Tampak seng itu separuh kusam oleh karat. Alasnya seakan menyatu dengan tanah. Lalu, bau bangkai itu dari mana?
Lelaki separuh baya itu dirayapi lelah. Ia dirasuk bingung. Selama seminggu lebih ia dipenjara bau bangkai. Bau yang menghebohkan. Bau yang kerap menyelinap sekitar rumah.
 Peluh mengucur dari seluruh pori-pori tubuhnya, kaos oblongnya basah. Juga dari pelipis dan dahinya namun ia tetap tekun membersihkannya. Ia tak jijik lagi pada sisa-sisa makanan basi, belatung dan ngengat yang bertebaran di sekitar tempat itu. Padahal biasanya, mengangkut sampah dan membersihkan sisa-sisanya yang berceceran adalah pekerjaan tukang  angkut sampah, truk yang lewat setiap tiga hari sekali.  Sekaleng karbol pun sudah dihabiskannya untuk membunuh kuman-kuman di situ. Penting baginya untuk membuat sekeliling rumahnya tetap wangi sebab ia tak ingin membuat istrinya berteriak-teriak sambil menutup hidungnya. Tubuhnya yang legam kian mengkilat. Mengundang kemilau matahari untuk bercermin di permukaan kulitnya.
Lelaki itu tetap mencangkung pundak. Istrnya belum berhenti berteriak. Ia makin kebingungan. Teriakannya begitu memekakkan telinga. Seperti suara gesekan pisau pada lembaran seng. Nyilu di gigi! 
Pak! Bau.! Aduh, bau.! begitulah teriakan istrinya selalu.
Lelaki itu melepas sekop dan sapunya segera. Ia tak tahan mendengar istrinya berteriak, bergegas menemuinya yang sedang berleha-leha di kursi ukir depan televisi. Itulah singgasana istrinya sehari-hari kecuali dapur, sumur dan kasur. Kaleng karbol kosong yang masih berada di sekitarnya terguling tertimpa batang sapu. Padahal ia merasa tempat itu sudah menguarkan wangi karbol sekarang. Mengapa sang istri masih ribut berteriak?
Sudah Bapak bersihkan Bu, masak sih masih bau?
Masih Pak, masih bau! Bapak kurang kuat membersihkannya barangkali! sungut istrinya sambil mengipasi hidungnya.
Sudah tidak ada sampah, Bu. Bapak sudah menghabiskan karbol satu kaleng!
Tapi kok masih bau? Cari bangkai tikus di sekeliling rumah Pak!
Wah, Bu. Bapak sudah sepanjang pagi membersihkan tempat sampah. Besok saja, ya? suaranya tersengal.
Yah, pokoknya kalau masih bau aku nggak bisa tidur! manja istrinya. Suara berita di tv masih keras menggema.
Sebenarnya sudah hampir dua pekan ini Bu Darmi, sang istri,  tak bisa tidur. Ia mengaku selalu merasa mencium bau-bauan busuk di sekitarnya. Setiap kali terjaga, ia selalu mengomel. Bagaimana ia tidak mengomel, sebab bau-bauan itu bukan bau cendana, kenanga, bunga-bungaan, bahkan dupa. Bau-bauan itu beraroma busuk. Kadang seperti bau bangkai menyengat, lalu berangsur-angsur pudar, berganti dengan bau busuk  anyir darah haid wanita. Kadang hanya dalam hitungan sepersekian detik bisa berubah menjadi bau toilet terminal.
Dua hari kemudian, ketika suara tivi begitu nyaring menayangkan sebuah berita wawancara kasus korupsi, Bu Darmi terbangun dari kursi ukirnya. Serta merta ia bangkit sambil marah-marah dan memanggil suaminya. Sebab ia yakin bau tersebut bukan berasal dari halaman rumahnya. Tapi dari berita korupsi yang marak dari televisi. Layar kaca dirasakannya menguarkan bau busuk. Jika televisi mati, ia menduga bau busuk itu berasal dari atas loteng, atau dari halaman mungil di balik semak rumpun tanaman asoka yang rimbun. Tempat itu sering sekali dijadikan tempat kucing muntah atau meninggalkan  kotoran. Pokoknya, bau busuk selalu hadir di cuping penciumannya. Geger seluruh warga!
Pak! Bau,,! Cari di depan sana, atau di dekat got.
Bau apa lagi sih Bu.? rungut suaminya kesal. Ia tak mencium bau apa-apa.
Bau busuk, sampah atau bangkai barangkali. Cari Pak.!
Lelaki itu bersungut-sungut, koran yang dibacanya diletakkannya kembali. Ia bergegas menuju halaman. Istrinya masih berteriak-teriak. Teriakannya serak, kasar dan berhenti hanya sebentar-sebentar.  Ia tak sadar bahwa omelannya membahana di seluruh perumahan lingkungan RT dan akan mengguncangkan seluruh warga. Hari Sabtu siang begini suasana sunyi. Cuaca panas membuat orang enggan keluar rumah. Bahkan anak-anak kecil pun hanya bermain di teras tetangga yang kebetulan jauh lebih luas dan asri.
Lelaki yang dikenal sabar itu bernama Pak Ribut. Kesabaran menghadapi istrinya luar biasa.  Ia maklum, sejak kematian bayi mereka istrinya begitu murung dan mudah tersulut oleh emosi. Pasalnya, bayi tersebut adalah satu-satunya dambaan mereka setelah lebih dari delapan tahun menikah. Apalagi meninggalnya  karena kasus malpraktek dokter anestesi yang menanganinya.
Sejak itu perangai Bu Darmi berubah. Konon, seorang pembantu pernah berperkara dengannya, lalu keluar karena tak tahan. Meski sudah dicegah oleh Pak Ribut dengan rayuan maut majikan.
Pak, sudah dibersihkan? Sudah agak hilang…” Seru istrinya sembari mengendus endus. Hidungnya yang bangir kembang kempis. Senyumnya mengurai perlahan. Pak Ribut tercenung mendengar kata-kata istrinya yang tak panik lagi. Hilang? Apanya yang sudah agak hilang? Bahkan mencari sumber bau pun belum. Alih alih membersihkannya. Ia baru saja mencari dengan matanya, belum tangannya. Bahkan belum juga beranjak dari lantai teras di depan pintu. Ia masih mematung.
Pak Ribut lega. Setidaknya untuk sementara. Jika sewaktu-waktu istrinya berteriak lagi, maka kelegaan hatinya akan segera menguap. Saking seringnya begitu, Pak Ribut bahkan hampir merasa tak ada beda antara suara ribut, suara tenang, kesenyapan, kemesraan bahkan gejolak birahi di tempat tidur. Namun Pak Ribut masih menyayangi istrinya yang cantik dan sintal. Kulitnya kuning langsat dengan rambut tebal hitam dan panjang. Lehernya yang jenjang membuat Pak Ribut selalu merasa kagum. Anak rambut di tengkuknya itu yang membuat Ribut muda kasmaran. Pak Ribut berperawakan kurus dan tinggi. Berkulit legam. Jika mereka berjalan berdua di pasar, banyak yang tertawa sebab akan mengira, seorang wanita cantik sedang ditemani supirnya.  Ah, orang pasar memang ada-ada saja gunjingannya!
Sementara persoalan bau sudah mereda, Pak Ribut kembali ke ruang kerjanya, Bu Darmi kembali ke dapur. Suasana sunyi. Hening. Hanya  suara denting piring beradu atau pisau jatuh.
Bu Darmi..! Bu Darmi…!” Sebuah suara wanita berteriak sambil menggedor-gedor  pintu depan dengan keras. Bu Darmi tergopoh-gopoh. Ia letakkan pisaunya, segera bergegas ke pintu depan sambil bersungut-sungut. Ia paling tak suka dengan tetangga yang mengetuk pintu terlalu keras, atau, jika belum dibukakan, secara tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa salam. Ada beberapa tetangga yang seperti itu. Tetapi suara di depan itu ia faham benar. Suara Bu Nafsiah yang sering menawarkan seprai batik dagangannya dari Solo.
Ada apa Bu? Kok seperti kesetanan?
Ibu mencium bau sesuatu?
Bau apa? Biasanya ya ada! Kalau saya lagi leyeh leyeh, ya ada!
Saya mencium bau sangit Bu. Bau busuk sampah. Padahal sampah sudah diangkut truk sampah dan sudah kusiram karbol. rupanya Bu Nafsiah punya persoalan yang sama.
Lha saya juga. Tapi sekarang sudah tak bau lagi.
Oh, begitu. Saya mau bawa dagangan dulu ke Encik depan. Encik depan yang dimaksudkannya adalah seorang Cina asal Pontianak pedagang emas di Pasar Kecapi. Belum juga Bu Nafsiah berlalu, Encik Liem menghambur bersama beberapa Ibu-ibu yang biasa berkeliaran ketika  tukang sayur berderet pagi-pagi. Bu Darmi bingung. Ada apa, kenapa tiba-tiba semua ibu-ibu mendatangi teras rumahnya?
Eh, ada tercium bau busuk nggak? Aku menciumnya dari kemarin. Padahal tempat sampah sudah kubersihkan dengan karbol. Sudah diangkut pula! Bu Hadi nyerocos.
Ya, aku juga. Kemarin sepulang rapat dari masjid bau itu makin tajam! seru Bu Sarwoko.
Aku pesan sea food dua hari lalu, tapi sudah diangkut sama truk sampah. ujar Encik.
Jadi bukan dari tempat sampahmu?
Bukan dong, tempat sampah saya bersih, ujarnya lagi. Di antara semua tetangga, memang hanya Encik Liem yang tempat sampahnya bersih. Ia telaten membersihkan sampahnya.
Encik melanjutkan membongkar tas isi dagangan milik Bu Nafsiah. Ia tak hirau percakapan itu. Bu Nafsiah juga tak hirau. Ia sudah mendengar gosip itu sejak dua hari yang lalu dari suaminya. Bau busuk juga belum reda dari penciumannya. Pak Ribut menyeruak dari dalam rumah. Melihat suami Bu Darmi keluar, ibu-ibu segera berdiri. 
Pak..maaf. Rame ya? Bergosip siang-siang! seru Encik.
Bau busuk di sekitar sini ya, Pak? Ada apa ya, Pak? seru lainnya serempak. Mereka tak jadi bubar.
Kita harus lapor pak RT atau Pak RW. Mungkin penanganan sampah kurang maksimal. Seru Bu Darmi. Memang ia yang paling terpelajar di antara Ibu-Ibu itu. Ia sarjana ekonomi dan pernah bekerja di LSM. Ia pun pernah menjabat sebagai ketua PKK selama satu periode.
Nanti akan saya minta Pak RT untuk rapat jika ini mengganggu ketentraman warga. Ini polusi yang harus dicegah. jawab Pak Ribut.
Iya, padahal RW kita juara satu dalam program penghijauan.
Betul!  Jadi percuma jika masih ada polusi  udara Pak.
Hidup jadi tak nyaman,
Betul!! Suami istri jadi sering ribut karena persoalan bau ini!
Truk sampah dan tukang angkutnya jadi kita marahi habis-habisan.
Padahal iuran sampah sudah dinaikkan!
Anak-anak tak bebas bermain karena udara beraroma busuk!
Pak Ribut mengangguk-angguk sambil mengernyitkan alis. Ia mendengarkan semua protes ibu-ibu yang sebagian besar barangkali berasal dari keluhan para suaminya. Segera ia masuk, meneruskan bacaannya. Kerumunan ibu-ibu di teras Bu Darmi belum juga bubar. Ibu-ibu dari gang sebelah, dari RT sebelah,  berdatangan seperti rayap. Mereka makin memadati teras Bu Darmi.  Bahkan tumpah ke jalanan serupa antrian minyak tanah. Bu Darmi tak bisa lagi kembali ke dapur. Ia ingat, keluhan serupa juga pernah disampaikan oleh warga RT lain di blok tetangga, saat berjumpa di pasar. Juga warga RW lain waktu ada pertemuan PKK di kelurahan. 
Bu,  bau apa ya? Sepertinya dari rumah ini sumbernya? semua hampir serempak mengucapkan itu. Bersahut-sahutan. Seperti  dengung lebah, makin banyak suara-suara di udara.
 Bau apalagi sih Bu? suara Pak Ribut setengah berteriak kesal menyeruak lagi di antara  gerombolan ibu-ibu.
 Aduh, bau!! Makin menyengat Pak! Segera lapor Pak RT dan RW, pak!  Jika perlu malam ini, mumpung malam Minggu.
            Pak Ribut terbelalak, membeliak, mulutnya menganga seperti gua tanpa mampu mengatup lagi.  Matanya nyalang. Ia menatapku
Aku berdiri di belakang kerumunan itu tanpa seorang pun menyadarinya.  Rambutku panjang dan kusut masai, berbaju putih dan lusuh, wajah pucat, dan anaknya, yang masih bayi dalam gendonganku masih meneteskan darah. Bukankah dia yang memutuskan untuk melakukan aborsi?
Udara sunyi, angin berhenti bertiup, orang-orang beku. Denting waktu berdetak makin keras. Jantung lelaki itu berlompatan.



Jati Asih, Januari - Maret 2010