Kamis, 04 Februari 2010

Balada Sandal Pak Supri

Sudah tiga pekan ini Pak Supri rajin  sholat di masjid. Istrinya pun sampai dibuat bingung. Sebab tak biasanya sang suami begitu rajin menantikan  saat  azan Magrib berkumandang. Gema Azan yang bersahutan merajuknya untuk segera berwudhu dan melangkahkan kaki ke masjid. Setahu istrinya, biasanya Pak Supri paling malas ke masjid. Ia lebih suka menonton tivi. Pagi, siang, sore, matanya setia menatap layar kaca. Dari iklan sampai sinetron, ia menonton terus. Sepanjang waktu menonton itu hanya diselingi dengan kegiatan makan atau ke luar rumah sebentar, sekedar kongkow dengan bapak-bapak di gardu ujung gang. Lalu ia masuk lagi ke dalam rumah dan kembali bersetia duduk di kursi khusus dan menghadap televisi. Semula istri pak Supri sempat hendak mencarikan seorang psikolog untuk mengobati  kecanduan suaminya akan televisi. Namun hingga kini tak pernah kesampaian.
Sebelumnya, setiap hari kegiatan Pak Supri sangat terjadwal rapi. Rapi dalam pengertian: Shubuh terlewati, ia tetap mendengkur, meski kalimat  “Assholaaatu khoirumminannauum” memanggil manggilnya lewat masjid di seberang gang rumahnya. Ia baru bangun tidur pukul sembilan atau  sepuluh,  saat  tukang sayur berhenti di depan rumah tetangga sebelah dan ibu-ibu berkerumun di gerobaknya. Ia menyeruput kopi yang sudah dingin, karena dihidangkan oleh istrinya sebelum  berangkat mengajar jam setengah tujuh pagi. Seusai minum kopi dan menghisap rokoknya, ia segera mandi dan berangkat. Itu lah jadwal rutinnya.
Sore, pukul enam atau sekitar Magrib, ia sudah kembali ke rumah. Hal utama yang dilakukannya adalah menonton tivi, sebelum berganti baju. Azan bersahutan di mushalla-mushalla dan masjid-masjid sekitar perumahan sederhana itu. Namun Pak Supri bergeming di depan layar kaca menyaksikan sinetron komedi yang menurut istrinya tak lucu sama sekali. Bagi Pak Supri lucu. Ia bisa terpingkal-pingkal menyaksikan adegan demi adegan. Ia baru akan beranjak dari duduknya saat sepuluh menit lagi menjelang azan Isya. Lalu segera sholat Magrib dengan tanpa memakai kemeja, hanya kaos singlet yang dikenakan sebagai pakaian dalam kemeja kantornya. Kaos itu berkeringat dan baunya tajam ke mana-mana. Berkali kali sang istri menegurnya tentang kebiasaan jelek itu, namun Pak Supri enggan menurutinya. Ia hanya diam dan kembali duduk. Jika tak malas, sholat Isya dilakukannya menjelang tengah malam atau sebelum tidur.
Perubahan drastis luar biasa terjadi tiga pekan belakangan ini. Istrinya terheran-heran.  Suaminya menjadi jamaah tetap  setiap Magrib dan Isya di Masjid Al Ittihad di seberang gang rumahnya. Jika kedapatan tiba di rumah jelang  Magrib, segera Pak Supri berwudhu dan pergi ke masjid. Anak-anak semua pun dibuatnya heran dan tercengang. Tapi mereka tetap bangga. Bapak mereka yang kecanduan tivi kini rajin ke masjid. Hanya itu perubahan baik yang mencerahkan hati Bu Supri dan ketiga anak perempuan mereka.
“Pak, Ibu salut lho Bapak mau ke masjid setiap sholat Magrib dan Isya!” seru istrinya suatu malam bertanya.
“Oh, kan biasa Bu! Dulu Ibu sering marah sama Bapak kalau telat sholat!”
“Iyaaa, tapi ‘kan biasanya Bapak  sholat di rumah?”
“Memangnya kenapa?”
“Ya, sekarang Bapak jadi kayak ustadz. Tiap Magrib sampai Isya pakai baju koko!”
“Lho, kan kata Ibu kalau mau menghadap Tuhan harus pakai baju rapi, bukan cuma ke kantor saja!”
“Iya, tapi kan biasanya Bapak nggak begitu?”
“Ibu ini gimana? Dulu Ibu yang sering nasihatin Bapak soal-soal begini, sekarang kok malah bertanya-tanya!” Bapak bersungut-sungut sambil tetap menonton tivi. Padahal Bu Supri ingin bercanda.
Tangan Pak Supri menggenggam tasbih. Entah dibaca atau tidak, yang jelas, jika Pak Supri berzikir sambil menonton iklan dengan gambar ketiak dan paha perempuan, apakah ia bisa berkonsentrasi? Pikir istrinya. Diurungkannya niat untuk mengajaknya bercanda. Ia malah berbalik ke dapur hendak membalik gorengan tempe mendoan. Mungkin suaminya sedang risau, atau tersinggung. Azan Isya bertalu-talu, Pak Supri segera meletakkan tasbihnya dan bergegas pergi.
“Paaaak…..!”panggil istrinya.
Tak ada sahutan. Hanya suara pintu tertutup. Dan suara sandal diseret -- gaya jalan Pak Supri—terdengar di teras depan. Suara tivi masih anteng, saluran yang itu-itu juga. Kebiasaan Pak Supri yang satu ini belum hilang, meninggalkan teve dalam keadaan menyala tanpa ditonton. Bu Supri segera mematikan teve dan berjalan ke arah kamar. Ia membawa serta majalah yang belum dibacanya. Kebiasaan Bu Supri adalah membaca sambil berbaring di tempat tidur. Sementara ia sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk suaminya. Anak-anak  bahkan sudah makan lebih dulu tadi sore. Jam jam begini adalah waktu belajar bagi anak-anak keluarga Supriandi yang tinggal di lingkungan masyarakat urban pinggir kota, wilayah Pondok Gede.  Supri yang sarjana ekonomi hanya bekerja sebagai staf biasa di sebuah perusahaan sekuriti keuangan. Gajinya tak pernah cukup untuk menghidupi keluarganya. Itu sebabnya Bu Supri harus terus bekerja.  Pelan pelan mata Bu Supri meredup. Kantuk mulai menyerang. Huruf huruf kabur.
“Bu!!! Sudah disiapkan?” suara keras suaminya mengagetkannya. Majalah yang berada di dekapan pun terhempas.
“Sudah. Mau makan?”
“Ya, tentu dong!” Bu Supri segera bangkit, membetulkan ikatan rambutnya yang mulai acak-acakan.
Mereka makan tanpa suara. Bu Supri tetap heran mengapa Pak Supri tiba-tiba berubah. Tapi ia tak mau bertanya lagi. Bahkan sendok dan garpu tak dibiarkannya berdenting di piringnya. Pak Supri juga enggan berbunyi. Lalap petai dan sambal memang kesukaannya. Ia asyik sendiri. Baju koko sudah dilepasnya, tivi mati. Tanpa suara. Hanya decap suara Pak Supri yang terdengar. Begitulah jika Pak Supri makan, belum lagi suara keras dari kerongkongannya ketika menelan air minum.
Lama-lama Bu Supri tak tahan berdiam-diam seperti itu. Nasi terasa seperti sekam di lidah, kepala berputar-putar, bingung mau memulai percakapan. Ia mendehem kecil. Makanan tak dihabiskannya. Agaknya Bu Supri akan memulai strategi merajuk jika ia sedang takut untuk bertanya. Bertanya baginya sama dengan menunggu bentakan. Jika ia merajuk, diam atau bersedih, Pak Supri akan gelisah dan bertanya lebih dulu. Dengan penuh kelembutan.
“Bu, Ibu kenapa? Kok nggak dihabiskan?”
“Pak, Ibu belum juga mendapat jawaban, kenapa Bapak sekarang berubah?”
“Berubah apanya? “
“Rajin ke masjid setiap Magrib dan Isya. Ibu senang, tapi Bapak terlalu drastis perubahannya.”
“Ya kalau berubah menjadi lebih baik kan nggak apa-apa Bu?”
“Kenapa Bapak nggak terus terang?”
“Begini Bu, ibu ingat sandal kulit hadiah dari kakekmu waktu kita ke Jogya? “
“Iya, Ibu ingat, memang kenapa? Dimana sandal itu sekarang?”
“Tiga minggu yang lalu, saat sholat Jum’at, sandal Bapak hilang. Bapak sengaja rajin ke masjid, sebab Bapak ingin tahu siapa yang ‘ngambil?” Pak Supri menghisap rokoknya.
“Lalu, Bapak ‘nemu?”
“Ada seorang pemuda yang mengembalikannya pada Bapak. Katanya, dia terburu-buru memakai sandalku, karena Bapaknya sedang sakit parah. Akhirnya meninggal. Sejak itu ia gelisah, ingin mengembalikan sandal Bapak.”
“Kapan dikembalikan?”
“Baru seminggu yang lalu. Tapi Ibu tahu apa yang terjadi sesudah itu?”
“Apa?”
“Pak RW yang selalu hadir menjadi imam Shalat sedang membutuhkan karyawan untuk usahanya. Bapak diminta kerja di sana.”
“Oh, ya?” mata Bu Supri berbinar. Jantungnya berlompatan.
Sudah lama ia menginginkan perubahan nasib keluarganya. Ia sudah lelah bekerja, usia semakin berkurang, begitupun tenaga. Bekerja dan mengurus rumah tangga tanpa pembantu sungguh berat baginya. Untuk menggaji pembantu saja mereka belum mampu.
“Karyawan untuk bagian apa Pak?”
“Keuangan Bu! Keuangan!!! Kan Bapak sarjana ekonomi! Ha ha ha..!”
“Alhamdulillah, Pak. Alhamdulillah…!!! Kapan Bapak mulai bekerja di sana?”
 “Awal bulan ini. Makanya Pak RW memberi syarat, agar setiap Magrib dan Isya Bapak membantunya di masjid.  Supaya masjid ramai oleh jama’ah.”
“Lalu sandal Bapak sekarang di mana? Kok Ibu nggak pernah lihat lagi?”
“Bapak berikan saja pada yang mengambilnya. Ia tak punya sandal buat berjualan tape keliling. Tapi bapak minta dia untuk meramaikan masjid setiap Magrib dan Isya. ”



Jati Asih, Februari 2010